—–Biarkanlah keheningan membawamu ke inti kehidupan—- (Rumi)
Mobil double kabin berpenggerak 4 x 4 meliuk menapaki jalan berkelok. Sang sopir sangat lihai mengendalikan kemudi mengikuti ruas jalan yang mulai berdebu karena musim kemarau. Sesekali, kaki kirinya menginjak pedal kopling, mengoper perseneling. Jalan menanjak, lalu turun tajam. Rimbunan semak belukar disisi kiri kanan jalan membuat perjalanan semakin dramatis.
Sebuah handuk kecil warna pink dia kalungkan di lehernya, persiapan mengelap keringat ketika mulai beraktifitas di kebun. Tak berapa lama, ban mulai menapaki jalan tanah lalu berbelok ke kiri, sedikit menanjak. Dari cela dedaunan, terlihat pantulan atap sebuah bangunan mirip pendopo menjadi tujuan perjalanan kami.
Dua orang staf yang duduk dibangu belakang, dengan sigap menurunkan barang bawaan di bak belakang. Termos nasi, air kemasan serta sebuah tas berisi laptop diletakkan di atas meja. Mug besar berisi kopi serta beberapa kotak cemilan, mulai dihidangkan.
Pemandangan dari atas bukit membuat saya tidak segera menuang kopi dan menyantap aneka hidangan. Saya keliling memandangi pemandangan yang menyejukkan.
Disisi barat, mata tertuju pada perbukitan hijau dengan sedikit pepohonan. Sekelompok sapi tengah merumput. Mengigatkan gambar-gambar padang rumput sabana di buku-buku SMP ku dulu. Di sisi selatan pendopo, beberapa petak kolam ikan. Gelembung-gelembung air dari gerakan ikan di dalamnya, menandakan jika di dalam kolam, ikannya sudah dapat dipanen. Sayang, kami ke sana bukan untuk memancing.
Di sisi timur, bagian yang membentuk lereng berbatasan sungai kecil dengan pendopo, nampak ditumbuhi belukar setinggi dada. Di tebing itu sebenarnya, ada jogging track yang disusun dari ribuan anak tangga beton dibuat meliuk-liuk mengikuti kontur tanah. Sang pemilik sengaja membuat model tak beraturan. Sangking banyaknya anak tangga yang membentuk jogging track, sehingga setiap orang yang mencoba menghitungnya, pasti selalu berbeda jumlahnya.
“Kalau ada 10 orang saya minta menapaki anak tangga dan menghitungnya, sepuluh orang itu pasti punya angka yang berbeda,” selorohnya sambil menyiapkan perangkat laptop di atas meja panjang membelakangi kolam ikan.
Jika tidak sedang sibuk dengan berbagai agenda kantor, Yansen TP menghabiskan banyak waktu di kebun ini. Dia menikmati kesunyian sambil memikirkan banyak hal. Dari meja panjang dengan kursi plastik itulah, buku Kaltara Rumah Kita ia rampungkan.
Keakrabannya dengan alam dengan komunitas masyarakat di pedalaman, melengkapi ilmu pemerintahan yang dia kuasai, telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran cemerlang, bagaimana membangun daerah dengan memanfaatkan potensi masyarakat.
Yansen TP, anak desa yang lahir di pedalaman Krayan. Dia paham, apa yang dialami masyarakat dalam segala keterbatasan. Didalam keterbatasan itu, mereka terus hidup beranak cucu. Mereka hidup bersahaja nyaris tanpa keluhan.
Namun sebagai individu yang diberikan kesempatan dan banyak kelebihan, suasana itu membawa alam bawah sadarnya, untuk terus berbuat, lebih dari yang dipikirkan kebanyakan orang. Lahirlah program dana desa yang saat itu belum pernah dilakukan pemerintah.
Merasa masih ada cela yang belum tercover dengan dana desa, Yansen TP lagu menciptakan program dana RT.
“Tuhan menganugerahkan saya banyak kelebihan. Kelebihan itu harus bermanfaat bagi masyarakat Kaltara,” ujarnya.
Yansen TP tidak bisa dipisahkan dengan Kaltara. Pun sampai pada anak-anaknya. Saat meninggalkan lokasi kebun nya di Bangabak Malinau, dia menunjukkan beberapa bagian yang telah dia bagi kepada anak-anaknya. “Mereka semua mau buat rumah disini. Tidak ada yang berminat tinggal di luar Kaltara,” ungkap Yansen TP. (*)