Kebijakan pemerintah dengan kenaikan UMP 6. 5% dapat menyebabkan spillover effect (dampak positif dan negative) pada dunia usaha. Ini terungkap dalam sebuah diskusi yang digagas Syarif Al Mahdali, praktisi bidang kelapa sawit dan mantan anggota DPRD Kaltim dan Kaltara.
Dalam berbagai studi, kenaikan upah buruh, di Indonesia tidak selalu menunjukkan hasil positif. Perlu kehati-hatian dan pemahaman, karena upah memiliki implikasi yang sangat kompleks.
Kebijakan upah minimum, memang dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor manufaktur. Namun, berdampak negatif terhadap dunia usaha.
“Peningkatan upah dapat mendorong peningkatan kesempatan kerja di satu daerah. Tetapi ditemukan bahwa UMKM menghadapi kesulitan memenuhi ketentuan upah minimum. Ini dapat mempengaruhi keberlanjutan usaha,” jelas Syarif.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan komprehensif untuk memitigasi dampak negatif dari kenaikan upah minimum,” lanjutnya.
Misalnya melalui pelatihan keterampilan bagi pekerja berpendidikan rendah, insentif bagi UMKM dan membuka ruang dialog antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, agar ada kesepahaman bahwa kebijakan upah minimum untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.
Secara teori kenaikan UMP bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi secara nasional pada September 2024 adalah sebesar 1,84 persen. Sehingga kenaikan UMP dianggap memberikan ruang hidup yang layak bagi buruh.
Namun, apakah kebijakan ini akan memberikan dampak positif, atau justru memunculkan tantangan baru bagi dunia usaha?
Kenaikan 6,5 persen, memang dapat meringankan beban buruh. Tetapi tidak menyelesaikan persoalan kesenjangan upah yang tinggi di Indonesia.
Tetapi dampak besarnya, bagi UMKM. Padahal UMKM adalah kelompok penyumbang 60 persen produk domestik bruto (PDB) nasional.
Studi lain menemukan, kenaikan UMP di negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia, dapat mengurangi tingkat profitabilitas UMKM dalam jangka pendek, terutama di sektor manufaktur dan perdagangan.
Hal ini memaksa pelaku usaha melakukan efisiensi tenaga kerja atau bahkan mengalihkan biaya tambahan kepada konsumen, yang pada akhirnya dapat mempercepat laju inflasi. (paktaniku/syarif)