Keluhan petani terhadap ketersediaan pupuk subsidi masih menjadi alasan untuk meningkatkan produksi. Seorang petani jagung di daerah Sungai Uma mengaku hanya mendapatkan pupuk subsidi sebanyak 100 kilogram dalam setahun. Begitupun dengan petani sawah di daerah SP Tanjung Buka yang mengaku, ketersediaan pupuk subsidi tidak sesuai dengan jadwal tanam. Pupuk subsidi disini adalah pupuk kimia yang harganya lebih murah karena disubsidi pemerintah.
Pras, pengusaha beras asal Jawa Timur, salah satu mitra paktaniku.com mengatakan, untuk mendapatkan beras kualitas premium, penggunaan pupuk harus berimbang. Pupuk kimia penting, begitupun dengan pupuk organik. “Penggunaannya harus berimbang. Tidak bisa hanya pupuk kimia saja,” ujarnya.
Bagaimana dengan petani kita di Kaltara? Edukasi pembuatan dan penggunaan pupuk organik secara luas untuk kepentingan pertanian belum tersentuh. Contoh sederhana, petani jagung di sungai uma yang kekurangan pupuk subsidi, malah membiarkan sisa panen jagung sebagai sampah. Padahal, limbah jagung menjadi bahan yang sangat baik untuk diolah kembali menjadi pupuk organik.
Mengubah kebiasaan ketergantungan kepada pupuk buatan kimia dan beralih ke pupuk organik di kalangan petani, memang tidak semudah menceritakan. Karena petani pada umumnya sudah terdoktrin dan menjadi korban promosi pupuk kimia subsidi. Yang sudah mapan, memilih pupuk kimia non subsidi yang harga dan kualitas memang jauh berbeda.
Perlu ada langkah berani memberikan bukti dan contoh valid, sehingga ketergantungan pada pupuk buatan kimia bisa ditekan. Jika tidak, peningkatan produksi pertanian hanya akan sebatas konsep semata, atau selamanya menjadi beban anggaran.
Membuat, mengaplikasikan pupuk organik secara seimbang dalam pertanian, adalah seni nya bertani. Sama dengan pemerintahan, menata dan membangun kota juga perlu seni. Bukan sekadar membangun infrastruktur, tetapi perlu membangun peradapan. (paktaniku.com)