Potensi pertanian dan ketahanan pangan di Kalimantan Utara akan tumbuh dengan baik, jika pemerintah hadir dan memegang kendali penuh. Agar sinkron di semua daerah, kendali sebaiknya ada di tingkat provinsi.
Demikian disampaikan Dr. Afri ST. Padan, S.P., M.Si pemerhati lingkungan dari Kabupaten Malinau, merespon ulasan paktnaiku.com tentang padi gunung sebagai potensi pangan lokal yang belum tersentuh pemerintah.
Padi gunung adalah padi yang dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat Dayak secara turun temurun. Umumnya di lahan kering, di lereng-lereng perbukitan yang membentang sepanjang jalan trans Kaltara.
Dari perlakuan awal tanam hingga panen, padi gunung adalah kategori padi organik. Sedikitpun tidak terkontaminasi dengan pestisida, herbisida dan pupuk kimia. Bahkan, setelah ditanam dengan teknik tugal (menugal), pemiliknya baru akan datang lagi saat panen tiba. Itu diakui oleh Dokodarmono, PPL asal Malinau yang aktif mengedukasi pertanian di sana.
Sayangnya, produksi padi ini masih sangat rendah, padahal potensi lahan cukup luas. Bahkan, niat masyarakat menanam jenis padi lokal ini, hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bukan untuk dipasarkan.
Alasannya, selain harga yang mahal dibandingkan beras unggul premium, petani juga tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sertifikat organik untuk mendapatkan harga dan menembus pasar pangan organik yang memang untuk kalangan menengah ke atas.
“Hal ini bisa teratasi jika pemerintah hadir mengatur tata kelolanya dari hulu hingga hilir,” jelas Dr Afri.
Mengacu pada UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Presiden No.81/2024 yang baru saja disahkan 15 Agustus lalu, pemerintah tidak punya pilihan lain. Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya dan anggaran untuk mengatasi masalah-masalah pertanian, termasuk menyerap, membeli, melindungi termasuk men-sertifikasi, hingga mendistribusikan hasil pangan berbasis sumber daya lokal.
Namun menjadi pertanyaan, pemerintah di tingkat mana yang harus mengambil peran? Apakah provinsi atau masing-masing daerah?
“Ini menjadi sangat penting, karena mengatur tata kelola ini dibutuhkan peraturan yang linear dan menjadi satu kesatuan. Apalagi, pengelolaan ini berimplikasi pada dukungan sumber dana.
“Makanya kendali, sebaiknya di tingkat provinsi. Provinsi memiliki jangkauan yang luas dalam hal kewenangan dan anggaran, maupun jangkauan untuk varian produk organik lainnya, tidak terbatas pada beras organik saja,” jelasnya.
Pola kendali yang bisa dilakukan Pemprov Kaltara dapat mengadopsi pola yang pernah dilakukan dalam pengelolaan Beras daerah (Rasda) di Malinau yang dimulai sejak Bupati Dr Yansen TP.
Dengan dukungan APBD dan payung hukum Peraturan daerah hingga SK Bupati, Perusda mampu menampung hasil panen padi masyarakat, kemudian menyalurkan nya untuk kebutuhan di dalam Kabupaten Malinau.
“Semua dibuatkan payung hukumnya. Termasuk di dalam nya, jenis-jenis beras dijual dengan harga standar harga yang telah melalui pengkajian. Itu supaya petani mendapatkan keuntungan dan rumah tangga sebagai konsumen, mendapatkan kemudahan dan kepastian harga beras sesuai dengan standar harga yang dimuat dalam aturan,” jelasnya.
“Ini dapat menjadi acuan pemerintah di masing-masing tingkatan untuk menyusun Peraturan daerah (Perda), peraturan gubernur (pergub) peraturan bupati (perbub) , SK Gub, Bupati dan Walikota hingga petunjuk teknisnya,” lanjut Afri.
Diakui, program yang diamanatkan dalam UU maupun Perpres tentang ketahanan pangan, sebenarnya kegiatan itu sudah ada dari tingkat pusat hingga daerah.
Hanya saja, kegiatan itu hanya bersifat sporadis dan tidak kontinyu serta tidak sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota, sehingga tidak tuntas. (paktaniku)