Hingga saat ini, Sajau Hilir di Kecamatan Tanjung Palas Timur boleh dikatakan tetap konsisten konsisten mengolah sawah. Untuk musim tanam tahunan pada bulan November Desember, sekitar 300 hektar lahan sawah tadah hujan ditanami petani.
Jika dirata-ratakan produksi per hektar adalah 4 ton gabah kering, maka pada musim panen di bulan Januari – Februari, Sajau Hilir bisa menghasilkan Beras hingga 1.200 ton gabah kering. Sayangnya, produksi ini hanya setahun sekali. Karena memasuki musim Gadung pada bulan April, Mei, Juni, Juli, luasan lahan sawah yang digarap petani hanya berkisar 60-70 hektar saja.
Mulyadi anggota kelompok Tani Daya Karya, Sajau Hilir mengakui, ada kendala yang menyebabkan pada musim Gadu seperti sekarang, jumlah lahan sawah yang digarap menurun. “Masalahnya itu burung pipit. Kalau musim Gadu, burung pipit itu menjadi hama utama kami,” ujarnya. Ini menjadi alasan menurunnya minat petani menanam padi pada musim gadu.
Seyogyanya, pada musim Gadu atau musim dimana sawah tadah hujan lebih mengandalkan curah hujan untuk pengairan sawah, petani bisa menghemat biaya. Namun karena hama lebih menghantui petani, sehingga mereka memilih tidak menggarap sawah dalam jumlah yang luas.
Bagaimana mengatasinya?
“Ya, selama ini kami hanya menjaga pak. Mulai dari Subuh sampai jam 7 malam. Dan itu dimulai sejak 10 hari keluar buah hingga 10 hari menjelang panen,” ujarnya.
Diakui, memang banyak cara yang bisa dilakukan dan sudah disarankan oleh tenaga teknis pertanian, seperti menggunakan pukat. Namun karena luasan atau petak sawah di Sajau Hilir ini rata-rata cukup luas per petaknya, maka penggunaan pukat, menjadi hal yang tidak bisa dilakukan petani.
Hama Burung Pipit pada musim Gadu seperti sekarang menjadi salah satu penyebab menurunnya minat petani. Namun nanti, pada musim tanam utama atau musim tanam tahunan pada bulan November, Desember, Januari, Februari, Maret, hampir semua lahan sawah di Sajau Hilir, akan digarap kembali.
Dikatakan, saat ini produksi sawah di Sajau Hilir mencapai 300 ton beras per tahun. Jumlah ini, habis bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Kota Tanjung Selor.
“Itu habis hanya untuk daerah Tanah Kuning dan sekitar Sajau. Saya masih kesulitan mendapatkan beras dari teman-teman petani, karena menurunnya luasan sawah yang digarap,” paparnya.
Selain persoalan hama burung pipit di musim Gadu, Mulyadi mengakui kendala utama petani adalah masalah permodalan. “Kalau fasilitas dan bantuan dari pemerintah itu semua sudah ada. Namun masalah modal memang kami akui itu menjadi hambatan petani,” jelas Mulyadi.
Bagaimana dengan harga beras lokal di pasaran? Dengan kondisi stok yang minim, beras produksi Sajau Hilir saat ini cukup bersaing di pasar lokal. Dengan harga hanya Rp14.000 per kilogram di tingkat petani, Mulyadi masih kesulitan memenuhi permintaan. “Dari kami itu Rp 14.000. Baik yang sudah dikemas maupun yang belum. Sementara pengecer menjual dari harga Rp15.000 hingga Rp16.000,” terangnya.
Harga ini masih jauh lebih murah dibandingkan dengan beras-beras premium dari Jawa dan Sulawesi yang dijual hingga Rp19.000 per kilogram di tingkat pengecer. (paktaniku)