Nasib Musangking, Duri Hitam

Tuesday, 27 May 2025 08:40:42 | 366 views

Penulis: paktanik
Editor: paktanik
Foto (gunawan/paktaniku)
Foto (gunawan/paktaniku)

Tanggal 14 Mei lalu, DR Yansen TP menelpon saya. Ditawari berkunjung ke Binuang Krayan, melihat lokasi perkebunannya di Batu Ruyud. Ini kesempatan luar biasa. Saya sudah pernah ke Long Bawan, tetapi saya belum pernah ke Binuang.

Tetapi sebenarnya, rencana ke Binuang sebenarnya sudah beberapa bulan lalu. Waktu itu ingin menjajal jalan darat. Yansen TP pun sudah membeli ratusan polybag Bibit Durian Premium untuk di tanam di Binuang. Musangking, Ocee (Duri Hitam) dan Bawor. Namun mendekati hari yang dijadwalkan, hujan beberapa hari mengguyur Kaltara. Dapat kabar, akses ke Binuang putus total. Tidak bisa tembus.

Rencana tertunda. Menunggu sampai jalan ke Binuang bagus. Bibit-bibit Durian pun terpaksa ditangkarkan dulu di belakang kediaman DR Yansen TP di Tanjung Lapang – Malinau. Setiap ke sana, saya selalu mengecek kondisi bibit-bibit mahal itu. Syukur masih cukup sehat. Dan kian membesar. Hanya ada sekitar dua pohon yang sepertinya sudah mulai kekurangan nutrisi.

Malam tanggal 18 Mei lalu, saya sudah tiba di kediaman Yansen TP. Tanggal 19 Mei, kami terbang ke Binuang dengan pesawat perintis milik MAF Aviation. Tidak mungkin bisa mengangkut bibit Durian. Karena kapasitas angkut kargo hanya kisaran 700 kilogram saja. Belum lagi penumpang.

Pagi-pagi, kami sudah laporan berat badan dengan bagasi ke petugas maskapai lewat telepon. Di pintu belakang rumah DR Yansen TP yang catnya sudah menandakan partai Demokrat itu, memang disiapkan timbangan analog hingga kapasitas 200 kilogram.

“Mau laporan jujur atau ngasih diskon?” Kalau jujur pasti diledekin. Kalau beratnya di diskon, ini tentang keselamatan. Akhirnya sayapun naik ke timbangan dengan semua barang-barang bawaan saya.

“Alhamdulillah, tidak begitu berat. Tetapi sudah lumayan,” (tidak perlu saya tulis, karena ini menyangkut kode etik….hehehe)

Di Bandara kami bertemu dengan semua penumpang tujuan Binuang. Kebetulan di sana sedang ada acara launching Injil Terjemahan Bahasa Dayak. Rata-rata mereka adalah warga Binuang yang berdomisili di luar, jadilah mereka membawa barang-barang pesanan keluarga. Ada baskom, wastafel hingga handel perseneling motor manual. Semua barang-barang keperluan dapur.

Semua barang keperluan rumah tangga harus didatangkan dari Malinau, Tarakan dan Malaysia. Saat jalan putus seperti sekarang, semua harus diterbangkan dengan pesawat. Hitung sendiri berapa kira-kira harganya jualnya di Binuang.

25 Menit pesawat mengudara dalam cuaca yang sangat cerah. Yansen TP duduk di kursi copilot. Saya tepat di belakangnya. Sebelum mendarat, pesawat melintas lalu berputar di atas Batu Ruyud, perkebunan yang dikelola Yansen TP.

Saya sempat mengabadikan beberapa gambar. Sayangnya karena hanya mengandalkan kamera smartphone, gambarnya tidak setajam kamera DSLR. Tetapi cukuplah untuk konten tiktok, ig dan fb.

Tiba di Binuang setelah seremoni penyambutan, kami langsung ke rumah kepala Desa di sisi timur Apron. Sorenya saya dan Yansen TP, Tirusel STP menuju ke Batu Ruyud.

Jaraknya hanya sekitar 30 menit dari Binuang dengan kendaraan roda empat jika tidak hujan. Tetapi harus ganti mobil lagi saat tiba di Sungai Krayan. Kami harus menyeberang dengan jalan kaki di atas jembatan gantung sambil menenteng barang bawaan.

Kerabat Yansen TP yang biasa melitas di atas jembatan gantung dengan sepeda motor membantu kami mengangkut bahan-bahan bawaan dari Malinau. Dari pop mie, susu, kecap, kopi instan dan berbagai makanan instan sudah disiapkan Yansen TP. Mirip seperti belanjaan toko sembako.

“Bagaimana mau mengembangkan pertanian jika akses masih seperti ini? Bagaimana memobilisasi hasil panen? Bagaimana menjualnya? Berapa harga jualnya jika semua harus lewat pesawat?”

Pertanyaan itu memenuhi pikiran saya, ketika kami tiba di Batu Ruyud. Melihat tanaman yang tumbuh subur memberi harapan besar. Tetapi sayang, bagaimana bisa membawa keluar dari Krayan tanpa biaya tingi? Wajar saja jika Beras Adan, hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu. Bukan karena harga berasnya yang mahal, tetapi karena biaya transportnya yang mahal.

Lalu sampai kapan seperti ini? Hingga kini, belum ada kabar upaya menyambung akses darat yang putus ke Krayan. Dan tentu itu butuh anggaran besar.

Setengah bercanda, saat ngopi di rumah camat Krayan Tengah saya bilang begini. “Pak, kalaulah Krayan terbentuk jadi Kabupaten, 5 tahun APBD tidak perlu membangun apa-apa. Cukup buka akses jalan darat saja. Toh, Krayan selama puluhan tahun saja bisa hidup damai seperti ini,”

Krayan punya potensi besar. Bisa dibanggakan. Krayan Kabupaten yang sangat ikonik. (dalam tulisan Kabupaten Ikonik di paktaniku.com, saya membandingkan Tana Toraja di Sulawesi dengan Krayan di Kaltara. Banyak kemiripan alam dan potensinya). (Gunawan)

 

Rekomendasi

Newsletter

Polling Cepat

Siapakah calon pemenang di Pilkada pilihanmu.?

  • Nama 1 (0%, 0 Votes)
  • Nama 2 (0%, 0 Votes)
  • Nama 3 (0%, 0 Votes)
  • Nama 4 (0%, 0 Votes)

Total Voters: 0

Loading ... Loading ...

berita populer

Pengunjung

  • Pengunjung Hari Ini588
  • Kunjungan Hari Ini687
  • Total Pengunjung121156
  • Total Kunjungan132259
  • Pengunjung Online9