Tower di sekitar bandara Binuang yang tak kunjung beroperasi. (foto/paktaniku)
21 Tahun lalu, saya pernah menginjakkan kaki di Long Bawan, Krayan. Ketika itu, sebuah musibah jatuhnya pesawat ringan yang dikelola perusahaan daerah Kaltim terjadi. Di awal tragedi, seluruh penumpangnya meninggal.
Kurang lebih seminggu saya di sana, menunggu selesainya proses evakuasi korban. Seluruh penumpang diserahkan dalam peti jenazah ke pihak keluarga yang kesemuanya warga Krayan. Kecuali Pilot yang diterbangkan kembali ke kampung halamannya.
Kira-kira satu minggu kemudian, muncul seseorang pria dari tengah hutan dengan jalan tertatih dan hanya mengenakan pakaian dalam. Dia menghampiri warga yang tengah menanam padi di sawah. Wajahnya mirip salah satu penumpang yang telah dinyatakan meninggal dalam kecelakaan itu. Bahkan peti jenazahnya telah dikubur.
Dia lah Bangau, pria Krayan yang mendapatkan keajaiban. Lolos dari maut dalam kecelakaan tragis itu. Kisah perjalanannya mulai saat duduk di dalam pesawat dari Bandara Juwata Tarakan, dari tempat lokasi jatuhnya pesawat, penuh dengan kisah misteri.
Satu hari setelah kemunculannya, saya langsung terbang kembali ke Krayan, menemuinya. Kondisi tubuhnya masih dipenuhi luka.
Hingga kini Bangau masih sehat.
Berita jatuhnya pesawat Borneo Air Trasport (BAT) menjadi liputan pertama saya yang menasional kala itu. Berpuluh-puluh edisi dimuat diseluruh koran yang tergabung di group Jawa Pos, tempat saya bekerja.
Bahkan, ketika saya menulis kisah selamatnya Bagau, perwakilan media asal Inggris, The Guardian, datang menemui saya di Kantor Redaksi Radar Tarakan. Mereka minta beberapa foto hasil jepretan kamera digital pertama yang dipinjamkan kantor ketika saya melakukan liputan.
Saya salah satunya media yang turun langsung melakukan liputan ke Krayan tepatnya di Long Bawan hingga tuntas. Sejak kecelakaan, hingga munculnya Bangau, sampai pada proses rocovery kesehatan Bangau di Tarakan, terus saya ikuti.
21 Tahun lalu, Krayan masih jauh dari sentuhan pembangunan. Kendaraan roda dua saat itu masih bisa dihitung dengan jari tangan. Kini Krayan sudah jauh lebih makmur. Kendaraan roda empat, alat berat sudah banyak.
Teknologi sudah banyak mengubah kehidupan di Krayan. Meskipun tidak sebaik di ibukota Kaltara. Di Krayan kita bisa mengakses Tiktok, IG dan media sosial lainnya, meskipun timbul tenggelam dan hanya di beberapa tempat. Signal 4G Plus S. S nya itu haru Sabar. Sabar karena lemot.
Bagi sebagian warga yang lebih mapan, Starlink menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas jaringannya.
Di sisi selatan run way Binuang, ada tower pemancar jaringan seluler. Tetapi hanya tower yang dicat merah putih saja. Di atasya tidak ada pemancarnya. Jadilah tower seperti kayu mati tunggu tumbang diterpa angin.
Yang paling parah, adalah akses keluar masuk Krayan. Ini boleh dikatakan, tidak ada perubahan selama 21 tahun itu. Semua masih ketergantungan pada transportasi udara. Sempat bisa diakses lewat darat dari Kabupaten Malinau yang berjarak kurang lebih 150 kilometer. Tetapi kini jalannya rusak parah. Akses terputus dibanyak tempat. Tidak bisa dilewati lagi.
Banyak video dan foto-foto warga Krayan yang terjebak berhari-hari dalam perjalanan darat. Ada cerita dari Binuang saat mereka ke Long Bawan membeli sembako. 2 unit kendaraan roda empat yang memuat sembako dan bahan bakar ditinggal begitu saja di tengah hutan, karena terjebak lumpur.
Mereka memilih pulang ke kampung jalan kaki 5 hari, daripada menunggu mengeluarkan kendaraan dari jebakan lumpur.
Masyarakat di Krayan hampir tak pernah lepas dari masalah. Semangat mengembangkan potensi daerah, tidak didukung oleh infrstruktur yang memadai. Utamanya akses keluar masuk Krayan lewat darat.
Semua harus lewat pesawat. Tak heran jika barang di sana sangat mahal. Semen termurah asal Malaysia dijual dengan harga 400-500 ribu per sak. Solar subsidi dijual Rp 21.000 per liter.
“Itu waktu masih bisa angkut solar dari Long Bawan. Sekarang tidak tau bagaimana lagi, karena jalan ke Long Bawan sudah putuh,” ujar salah seorang warga yang membuka kios sembako.
Areal pertanian di Krayan sangat luas. Kondisinya, seperti daerah Duri hingga Tana Toraja di Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai sentra pertanian hortikultura. Kopi juga tumbuh subur di Krayan seperti di Tana Toraja.
Berada pada ketinggian di atas 1000 mdpl dengan suhu yang sejuk, mempunyai potensi perkebunan kopi yang sangat baik. Warga sudah menamam ratusan ribu pohon kopi. Tetapi jika akses darat tidak bisa menjangkau Krayan, produksi kopi Krayan akan menjadi sangat mahal untuk dipasarkan karena transportasi. Tentu akan sulit bersaing di pasaran.
Di tengah isu efisiensi anggaran infrastruktur yang masih terus mewarnai dunia politik nasional, rasanya cukup berat menuntaskan persoalan akses ke Krayan. Kaltara dan Nunukan memang cukup luas dan banyak daerahnya yang membutuhkan perhatian.
Krayan harus berjuang sendiri menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), sehingga bisa memiliki anggaran sendiri dan lebih fokus mengatasi masalahnya. Nunukan bukan tidak mampu mengurus Krayan. Tetapi karena Krayan memang layak menjadi DOB.
Krayan bukan hanya tuntutan pembangunan, tetapi masalah nasionalisme dan kedaulatan negara di perbatasan. (abg)