Tulisan ini akan menimbulkan pro kontrak, seperti di Group-Group WA. Sama ketika Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan rencananya menata ulang sistem Pilkada, Jagad X muncul polarisasi dikalangan para pakar. Banyak yang mendukung rencana Presiden mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, kalangan lain menyatakan penolakan.
“Biaya Politik sangat mahal dengan pemilihan langsung seperti sekarang” itu yang disampaikan Presiden Prabowo dalam pidatonya.
Yang menang dan yang kalah sama-sama pusing. Ucap Presiden sambil memegang jidatnya.
Seberapa mahal biaya Pilkada dari seorang calon kepala daerah jalur money politic?
Di Kaltara , rumor yang berkembang, untuk memenangkan Pilkada Gubernur menghabiskan dana dari pasangan calon dan sponsornya tidak kurang dari 100 M. Biaya terbesar untuk “siraman”.
Jika dikalkulasi, 100 M itu selama 5 tahun, berarti 1 tahun seorang gubernur harus mengumpulkan 20 M. Atau 1,6 M setiap bulannya.
Bagaimana mencarinya?
Dengan begitu, konsentrasi selama 5 tahun memimpin daerah hanyalah untuk mengumpulkan dana guna mengembalikan dana Pilkada yang mahal itu.
Bagaimana mengurusi ketahanan pangan yang terus menerus disampaikan Presiden? Kaltara butuh konsentrasi penuh mengembangkan sektor pertanian. Beras-beras produksi lokal Kaltara masih jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat Kaltara.
Sementara, dana untuk sektor pertanian hampir-hampir tidak ada cela untuk dipermainkan. Apalagi dengan semakin canggihnya sistem yang diterapkan kementerian pertanian saat ini, sangat muda mendeteksi kebocoran anggaran dan bantuan sektor pertanian.
Mengembalikan dana Pilkada menjadi beban bagi para kepala daerah dari jalur money politic.
Dr Yansen TP dalam Pilkada Calon Gubernur baru-baru ini, adalah satu-satunya calon yang dengan lantang menegaskan “Menolak Money Politic”. Alasannya sederhana, money politic, akan menutup masa depan generasi muda untuk menjadi pejabat pemerintahan, karena cost politic yang mahal.
Sejak awal mendeklarasikan dirinya sebagai calon, Yansen TP sudah meluncurkan sebuah jargon “Saya tidak punya uang untuk membeli suara rakyat, tetapi saya punya banyak cara mensejahterakan rakyat”.
Hampir menjadi realita, Yansen TP bukan peraih suara terbanyak dalam Pilgub. Tetapi, program-program yang dia paparkan dalam banyak kesempatan termasuk dalam debat calon, muncul sebagai program nasional oleh Presiden.
Yang paling sederhana, adalah konsumsi pangan berbasis potensi lokal. Yansen TP gerah melihat setiap acara-acara yang didanai oleh APBD masih menyuguhkan makanan-makanan olahan pabrik, bukan makanan olahan UMKM lokal yang memanfaatkan produksi pertanian lokal.
Oleh Presiden secara langsung di depan para menteri mengatakan, tidak boleh ada produksi pertanian dari masyarakat yang tidak dibeli jika tidak laku di pasar. Produksi petani dibeli pemerintah menjadi bagian dari cadangan pangan nasional. Ini gambaran, pemikiran di daerah memberi warna pada strategi nasional.
Komitmen menggunakan dan mengkonsumsi pangan lokal sudah dilakukan Yansen TP saat menjabat Bupati Malinau. Dan tahun 2024, kebijakan ini juga sudah dikuatkan dengan peraturan Presiden.
Tetapi saat program itu ditawarkan dalam konteks politik, ternyata kalah oleh pengaruh politik uang. Ini juga menjadi salah satu realitas Politik berbiaya mahal yang disoroti Presiden menenggelamkan program-program pro rakyat.
Tidak ada program yang baik di mata masyarakat, karena adanya pengaruh politik uang. Justru kebanyakan pemenang dalam Pilkada, adalah calon yang tidak memberikan janji program pro rakyat, tetapi calon yang mampu menyebarkan serangan fajar.
***
Di tingkat Kabupaten juga terjadi hal yang sama. Cheito Karno salah seorang kontestan Pilkada pada posisi wakil bupati. Dia adalah pengusaha kelapa sawit dan peternak yang sukses. Dia menciptakan program sawit mandiri dengan penghasilan minimal 10 juta perbulan. Tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup petani.
Di tingkat Nasional, menteri pertanian Andi Amran Suleman pun membuat gebrakan yang sama khusus untuk petani milenial dan gen Z. Brigade pangan dibentuk dengan pendapatan per anggota brigade minimal Rp10 juta per bulan.
Sama dengan program yang dicetuskan Cheito Karno, Rp10 Juta itu bukan gaji, tetapi potensi penghasilan yang bisa diperoleh setelah melaksanakan program tersebut.
Tetapi kenyataan, program-program seperti ini tidak laku di mata para pemilih dalam pilkada. Program ini tertutupi oleh praktik money politic.
Kerugian nya, bukan pada calon yang kalah atau yang menang. Tetapi kerugian karena masyarakat yang harus nya 5 tahun mulai melaksanakan program, tertunda karena pengaruh money politic.
Penganut paham money politic, berpikir keras bagaimana harus mengembalikan dana Pilkada yang sangat besar.
***
Rencana Presiden Prabowo mengkaji ulang sistem Pilkada sudah bergulir di kementerian. Tempo telah merilis berita langkah-langkah kementerian hukum dan HAM merespon pernyataan presiden tersebut.
Tantangan mulai muncul. Saiful Mujadi di accout X nya menuliskan “Selamat Tinggal Reformasi”.
Tetapi para petani punya harapan baru. Ada kewajiban pemerintah mengurusi produksi petani yang tidak terserap oleh pasar. Mari tingkatkan produksi. (paktaniku)